SURABAYA – Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) sebagai komunitas yang bergerak dalam kajian kebijakan luar negeri dan hubungan internasional (HI) menggelar DayMark! pada Sabtu siang (24/9/2022). DayMark! adalah webinar terbuka, yang pada siang itu mengangkat topik terkait dinamika kebijakan luar negeri Indonesia selama 77 tahun terakhir.
Dua narasumber dihadirkan pada webinar itu, dan yang pertama adalah Dosen HI UNAIR Agastya Wardhana SHubInt MHubInt. Agas, sapaan akrabnya, mengatakan bahwa kebijakan luar negeri di Indonesia selalu bertumpu pada satu premis, yakni kebijakan luar negeri merupakan refleksi atau perpanjangan tangan dari kebutuhan domestik. Orientasi domestik ini didasarkan oleh doktrin pragmatis yang dipeloporkan oleh Wakil Presiden RI Moh. Hatta. Oleh karena itu, posisi yang diambil oleh Indonesia adalah politik bebas aktif.
Baca juga:
FIB Menjadi Pusat Ujian DELF di Indonesia
|
“Bebas aktif yang dimaksud oleh Hatta disini bukanlah netral, karena netral berarti Indonesia merupakan negara yang antisosial dalam masyarakat internasional. Bebas disini dimaknai tidak berkubu pada, dan merdeka dari Blok Barat dan Blok Timur (konteksnya kala itu masih Perang Dingin). Sementara untuk aktif, ia dimaknai sebagai keaktifan Indonesia untuk berkontribusi pada perdamaian dunia dan meredakan ketegangan antara kedua blok, ” ujar alumni UNAIR itu.
Agas kemudian mengeksplor prospek dan tantangan penerapan politik bebas aktif di era kepresidenan Jokowi. Ia mengatakan bahwa hendaknya premis pragmatisme untuk kepentingan domestik harus diimplementasikan dengan adanya gambaran besar. Hal ini guna menyokong tendensi Jokowi yang ingin bermain lebih aktif dalam politik internasional, serta kedekatan Indonesia dengan Cina untuk proyek-proyek infrastruktur.
“Kebijakan luar negeri itu tidak monodimensional, melainkan multidimensional. Jadi pendekatan bebas aktif di Indonesia tidak boleh hanya melulu soal perekonomian, tetapi juga melibatkan hal-hal lain seperti faktor budaya dan keamanan. Untuk itu kita harus jeli dan hati-hati, dan gambaran besar serta konsolidasi domestik itu penting, ” tekan peneliti CSGS itu.
Narasumber kedua adalah Farras Ghaly, seorang diplomat di Kementerian Luar Negeri RI. Farras menjelaskan bahwa saat ini, terdapat tiga tujuan utama kebijakan luar negeri Indonesia di kawasan Amerika-Eropa. Pertama adalah perluasan akses pasar dan diversifikasi sektor ekspor Indonesia. Beberapa perjanjian perdagangan telah dilakukan oleh pemerintah dengan Mercosur (blok perdagangan Amerika Selatan), serta negara-negara eropa seperti Swiss dan Liechtenstein. Perjanjian perdagangan ini selaras dengan tujuan kedua, yakni kerjasama ekonomi guna meningkatkan penerimaan produk Indonesia di pasar utama. Tujuan ketiga adalah meningkatkan dialog untuk isu keamanan, perdamaian, dan HAM.
“Tetapi terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi dalam perluasan produk di Indonesia karena Uni Eropa sedang menerapkan European Green Deal yang memperketat standar iklim aktivitas ekonomi. Ada tendensi bahwa hal ini merupakan proteksionisme baru, sehingga berpotensi mendiskriminasi produk Indonesia, ” tutup alumni UNAIR itu.
Penulis: Pradnya Wicaksana
Editor: Nuri Hermawan